Langit
sudah mulai memerah bahkan sebagian sudah gelap,
Cahaya
matahari senja hanya tinggal sedikit saja terangnya,
Azan
mahgrib pun sudah menggema dari mesjid terdekat,
Kicauan
burung – burung walet di salah satu sarang walet milik warga terus berkicau;
walau mungkin itu suara kicauan dari perangkat recorder yang terus menerus
menggema sepanjang hari untuk mengundang walet – walet lain singgah,
Sungai
di steigher Dusun Setinggak penuh berisi air, pertanda bahwa air sedang pasang,
Beberapa
buah kapal kayu sedang bersandar di pinggir steigher,
Bang
Andi dan beberapa temannya masih asyik duduk – duduk di warung kopi persis di pinggir
sungai itu,
Tiba
– tiba datanglah sebuah truk dengan bagian bak yang tertutup oleh terpal
biru.Tak lama berselang, muncul juga beberapa orang dengan menggunakan sepeda
motor datang mendekat ke mobil truk yang mencoba untuk mencari tempat parkir
yang sesuai di area steigher yang tidak seberapa luas.Pergerakan truk itu cukup
terganggu oleh beberapa tumpukan karung
berwarna biru yang ditutupi terpal.Begitu supir truk berhasil memarkir
kendaraannya dengan menghadap kearah jalan,sontak orang – orang tadi tanpa dikomando
langsung sigap menuju bagian belakang truk.Dua orang langsung membuka tutup bak
belakang, dua orang yang lain naik ke dalam bak truk dan membuka terpal yang
sedari tadi menutupi seluruh bagian bak truk.Satu persatu karung mulai
diturunkan.Dua orang yang diatas tadi melemparkan karung dan langsung disambut
oleh teman – teman lain yang sudah menunggu di bawah yang jumlahnya tak kurang
dari belasan.”Wah,udah hampir malam nih,tambah orang lagi lah di atas…!!!”,teriak
salah satu dari mereka, yang mungkin kepala buruh,mengusulkan agar di atas truk
ditambah orang supaya proses penurunan karung – karung itu bisa segera selesai
sebelum hari benar – benar gelap.Akhirnya lima orang lain naik keatas membantu
menurunkan karung.
Karung
diangkat oleh dua orang pertama kemudian dilanjutkan kepada dua orang lainnya
begitu seterusnya hingga akhirnya karung dijatuhkan dari bak truk.Setelah di
bawah, karung langsung disambut oleh rekan – rekan lain yang sudah berpasang –
pasangan dan langsung disusun rapi setelah sebelumnya diberi alas agar karung
tidak bersentuhan langsung dengan tanah.Karung disusun setinggi enam buah
keatas,dan sepuluh buah memanjang.Memang karung disusun sedemikian rupa agar
mudah dalam penghitungannya.
Penasaran
dengan aktifitas mereka,aku pun tertarik untuk melihat dari dekat aktifitas
yang mereka lakukan.Kuhampiri si supir truk,aku bertanya :
”Apa
sih Pak yang di bawa? kok sepertinya banyak sekali ?”.
”Oh,itu
isinya garam.Untuk di kirim ke Desa Temajuk.Disana kan sedang musim ubur –
ubur”, jawab si supir.
“Lho...?memangnya
garam untuk apa sebanyak itu Pak? Untuk memasak ubur – ubur ? ” tanyaku lagi.
“Bukan
untuk memasak,tapi untuk mengawetkan ubur – ubur.Persisnya saya juga tidak tahu
bagaimana caranya,saya cuma dapat tugas dari tauke saya untuk mengantarkan
barang ini kesini”, kembali si supir menerangkan.
Aku
masih penasaran,kuajukan beberapa pertanyaan lagi kepada Pak Supir :
“Garam
ini dibawa dari mana Pak? Satu truk muatnya berapa karung? Terus harga per
karungnya berapa?”
Dia
pun menjawab : “Ini dari Singkawang,biasa kita juga bawa langsung dari Pontianak.Tapi
hari ini banyak stok garam di Singkawang.Garam ini sih kita datangkan langsung dari Madura, disana kan pusatnya
industri garam Indonesia.Kita mampu membawa
sampai 200 karung sekali jalan.Nah. kalau masalah harga saya kurang tahu,itu
urusan bos langsung dengan pembeli.Saya hanya bertugas mengantarkan saja”.
Cukup
puas dengan jawaban si supir tadi,aku pun berterima kasih kepadanya dan
menyudahi pertanyaanku karena sepertinya dia harus ada keperluan lain dengan
kepala buruh.
Sembari
aku mengobrol dengan si supir tadi,aktifitas para buruh tetap berjalan.Dengan
penuh semangat dan sedikit canda riang mereka bekerja cepat menurunkan dan
menyusun karung – karung garam,karena hari sudah mulai gelap.Akhirnya karung
terakhir pun berhasil diturunkan.Semua yang diatas segera melompat turun dari
bak truk,penutup bak pun segera dirapatkan dan dikunci.Terakhir, sebuah terpal
besar direntangkan untuk menutupi karung garam yang sudah tersusun rapi.Karung
harus ditutup karena sebentar lagi akan turun hujan.Karung harusn terlindung
dari hujan agar garam tidak rusak dan menggumpal / mengeras.
Supir
truk masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin. Ia langsung menginjak pedal
gas dan mobil pun beranjak pergi.Pak supir tak mau berlama – lama lagi, dia
ingin segera kembali ke Singkawang karena besok hari ia harus kembali lagi untuk
mengantar garam kesini.Sementara para buruh sibuk mencari air bersih di sekitar
steigher untuk mencuci tangan yang kotor setelah proses tadi.Sembari melepas
lelah,mereka duduk – duduk sebentar di warung kopi dan memesan minuman untuk
melepaskan dahaga.Walaupun proses menurunkan garam tadi tidak berlangsung lama,
namun cukup menguras tenaga mereka, berhubung mereka harus kerja lebih cepat
karena hari sudah menjelang malam.Mereka sepertinya senang sekali mendapat
sedikit penghasilan tambahan hari ini dari upah menurunkan garam.
Aku
ingin tahu berapa sebenarnya upah yang mereka dapatkan setiap kali menurunkan
barang seperti ini.Dan aku pun mencoba bertanya ke salah satu buruh yang aku
kenal,Bang Andi namanya.
”Bang,berapa
upah yang Abang dan kawan – kawan dapatkan setiap menurunkan garam seperti ini
?” tanyaku.
“Kami
baru akan mendapat upah kalau kami sudah menaikkan karung – karung garam ini ke
kapal nantinya.Sekarang kami belum dapat.Bila sudah diangkut ke dalam kapal
nanti upah yang kami dapatkan sebesar Rp 3.000,00 per karungnya” jelasnya.
“Wah,berarti
nanti harus dibagi – bagi lagi dengan kawan – kawan dong Bang hasil totalnya”
tanyaku lagi.
“Iya,tinggal
dibagi dengan jumlah orang yang ikut memikulnya.Kalau orangnya banyak ya,
berarti tidak seberapa masing – masing dapat bagiannya.Yah, cukuplah buat membeli
sebungkus rokok” jawab Bang Andi yang sehari – hari juga bekerja serabutan.
“Ternyata
tidak seberapa juga ya Bang hasilnya.Lalu yang sebenarnya berstatus sebagai
buruh di steigher ini ada berapa orang, Bang ?” lanjutku.
“Dulu
waktu steigher ini masih ramai,sekitar tahun 2005 saat penebangan kayu masih
marak, buruh disini dibuat kelompok – kelompok.Setiap kelompok terdiri dari 10
orang, dan bertugas bergiliran.Tetapi sekarang aktifitas bongkar muat disini
sudah sepi, jadi siapa saja boleh ikut jadi buruh.Untuk pembagian hasilnya
nanti, ada yang bertugas mencatat kok, pasti adil hasilnya.Bulan Maret seperti
sekarang ini, aktifitas disini agak lebih banyak dibandingkan hari – hari
biasa, karena di Desa Temajuk sekarang sedang musim ubur – ubur.Para penampung
tangkapan ubur – ubur dari nelayan perlu banyak stok garam untuk mengawetkan
ubur – ubur yang mereka kumpulkan.Nah,kami ikut kebagian rejeki karena satu –
satunya akses paling efektif untuk menyuplai garam dalam jumlah besar ke Desa
Temajuk adalah lewat jalur laut melalui steigher ini.Mana mampu membawa garam
sebanyak ini lewat darat,jalannya masih rusak.Biayanya juga pasti lebih
besar.Rata – rata penampung ubur – ubur yang bermodal besar punya kapal
sendiri.Cukup besar untuk membawa garam pesanan mereka.” Begitulah penjelasan
Bang Andi.
Ternyata,
musim ubur – ubur yang sekarang sedang berlangsung di Desa Temajuk tidak hanya
membawa berkah tersendiri bagi warga disana.Bahkan para buruh di steigher Dusun
Setinggak pun ikut kebagian rejeki.Namun, hasil yang mereka dapatkan dari upah
buruh di steigher ini tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga.Selain hasilnya yang sedikit, rejeki ini pun tidak pasti datang setiap
hari.Kadang bahkan mereka harus menunggu seharian, nongkrong di warung kopi
pinggir steigher untuk mendapatkan job bongkar muat barang.Cipratan rejeki dari
musim ubur – ubur di Desa Temajuk cukup membuat mereka tersenyum lebih lebar
karena mereka tidak perlu lagi mengganggu uang belanja istri untuk sekedar
membeli sebungkus rokok.
Wrote
By : J. IPUNG W.
Paloh,
15 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar